Kita sudah hampir 1,5 tahun melakukan pembelajaran secara online, sebagian kita masih menutup diri untuk belajar secara offline dengan dalih kesehatan. Haruskah siswa belajar Online terus?. Haruskah kita menghabiskan banyak pulsa data, untuk memberikan keuntungan bagi perusahaan provider yang untungnya sudah gila-gilaan. Dan satu lagi, haruskah kita membiarkan anak-anak terus menggunakan Hp untuk belajar dan tenggelam pada kepribadian individualnya setiap harinya?.
Bagi orang dewasa mungkin itu bisa jadi pilihan, namun bagi anak-anak itu adalah bencana yang suatu saat kita akan menyesalinya. Kebijakan yang sudah berjalan ternyata tidak efektif menurunkan angka penularan covid 19 di lingkungan kita. Jika semua disiplin maka tidak akan terjadi yang lebih dahsyat dari hari ini. Anak-anak kita sudah mulai nyaman dan menikmati belajar dirumah, bukan karena pembelajarannya menyenangkan. Namun karena Hp ditangan dan mereka bebas mengakses apa saja yang mereka suka, ini adalah bencana bagi pendidikan anak-anak kita dimasa depan.
Gejala keranjingan menggunakan hp sudah terlihat hasilnya pada anak-anak kita, mereka sulit untuk tidur dan beristirahat.Sementara kita masih berfikir ulang untuk menyetujui anak sekolah secara offline.
*DILEMA IZIN ORANG TUA*
Menurut hasil survei orang tua pada salah satu sekolah dasar hampir 88% mengizinkan anaknya sekolah secara Offline tentunya sudah mengetahui resiko yang terjadi. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat kekhawatiran orang tua terhadap anak-anak mereka. Mau sampai kapan seperti ini?. Mau sampai kapan anak-anak belajar pake Hp?. Mereka bayar SPP full namun pelayanan guru hanya 2-3 jam, itupun secara online. Bagi sebagian orang tua mereka merasa rugi, ditambah dengan pulsa data untuk belajar, mereka juga yang membeli. Ini lah sebab utama kenapa orang tua sangat menginginkan sekolah agar membuka pembelajaran secara tatap muka walaupun dengan cara terbatas. Mereka bukan tidak paham resiko ini, namun resiko kebodohan yang bertambah pada anaknya adalah kekhwatiran yang paling mereka tidak inginkan. Ditambah tidak semua orang tua bisa menggantikan peran sebagai guru dirumah, dikarenakan focus pada mencari nafkah keluarga.
Sebanyak 12% orang tua masih ragu, dan bahkan sebagian sampai pada titik paranoid (takut yang belebihan) karena takut tertular covid 19 ketika anaknya masuk ke sekolah. Padahal sama-sama kita katahui bahwa orang tua yang memiliki comorbid (sakit bawaan) jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki imunitas yang sangat baik. Takut yang berlebihan inilah yang menyebabkan pikiran negative sehingga menurunkan imunitas dan mudah terserang virus covid 19. Padahal kalau kita menyimak apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i bahwa setengah dari penyakit adalah pikiran yang negative.
Satu sisi ingin sekali anak-anak mereka sekolah secara tatap muka, namun mereka juga khawatir anak-anak mereka tertular covid 19. Ada satu ungkapan yang monohok bagi sebagian kalangan yaitu : _“kebanyakan berada dirumah kita mati, keluar rumah juga kita akan mati, maka lebih baik saya keluar rumah saja”._ Jadi yang perlu dipahami adalah kematian adalah sebuah kepastian, dan memang setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, tinggal bagaimana kita menyiapkan kematian tersebut. Apa yang dikhawatirkan oleh sebagian kita _pada dasarnya hanya akan mengantarkan pada sebuah kenyataan bahwa ia akan mendapatkan apa yang mereka takutkan._ Sebagaimana yang tertulis dalam hadist Qudsi *“ Aku sebagaimana persangkaan Hamba-Ku “.*
*DILEMA SEKOLAH SWASTA*
Seperti yang kita ketahui bahwa pemasukan terbesar untuk operasional sekolah adalah dari SPP orang tua, namun sekolah tidak bisa melakukan sekolah secara Offline karena terbentur aturan yang entah sampaikan kapan berakhir. Sebagian sekolah nekat tetap menjalankan sekolah secara offline terutama di daerah perkampungan, namun aparat kemanan tetap melarang keras sekolah yang ada di perumahan. Aturan dan tata tertib standar ganda, tidak jelas dan jauh dari rasa adil.
Sebagaimana yang kita lihat sekolah-sekolah yang berada di bawah Departemen Agama ada yang melakukan tatap muka secara offline, sementara sekolah dibawah Dinas Pendidikan tidak boleh dengan sebuah ancaman akan di cabut surat izin operasionalnya, sekalipun pada prakteknya ada sekolah yang tatap muka namun tidak ada sangsi yang benar-benar diterapkan. Ini menjadi dilema buat dunia pendidikan kita, orang tua setuju tatap muka, sekolah sudah siap, namun mereka masih di hantui oleh ‘dicabutnya’ izin operasional. Tinggal sekolah negeri yang tetap aman, tetap menjalankan pembelajaran secara online, karena dana operasional ditanggung oleh negara, dan orang tua tidak merasa dirugikan karena SPPnya gratis/lebih murah dari sekolah swasta.
*BAHAYA HP BAGI ANAK USIA DINI*
Semua pakar pendidikan dan para ahli psikologi telah banyak memberikan pencerahan terhadap bahaya penggunaan HP bagi anak udia dini (TK/SD). Dan orang tua juga sudah dapat melihat dengan sendirinya bagaimana anak mereka tenggelam dengan dunia Youtubers, fb, Instagram, tik tok dan banyak lagi aplikasi games lainnya yang menyebabkan mereka lupa akan tugasnya, lupa akan tanggung jawabnya dan menolak dengan keras (berteriak histeris) apabila Hpnya di ambil/disita. Terlebih bagi sebagian orang tua yang tidak mau ambil pusing dengan kalimat _“biarlah”_ daripada ngeribetin kita, kita juga sudah sibuk dengan urusan kerja, arisan dll yang juga menggunakan hp.
Bahaya HP bagi anak usia dini sudah seperti pengguna Narkoba, yang jika tidak menyentuhnya dia akan merasa ada yang hilang pada jiwa raga dan pikirannya. Ditambah dengan kerusakan sel-sel otak berfikir diluar batas kemampuannya. Serta kondisi fisik yang statis (tidak bergerak) karena yang bermain hanya jari tangan dan mata. Yang harus dipahami bahwa tahap perkembangan anak-anak usia dini adalah bermain dengan gerakan seperti berlari, melempar, berjalan dan melompat, agar fisik dan organ otak mereka tumbuh dengan baik. Namun jika fisik mereka statis tidak bergerak makan rentan dengan berbagai penyakit, salah satunya virus covid 19 ini.
Anak-anak kita cenderung melawan perintah orang tua, semua yang dilakukan atas kehendak mereka sendiri. Apabila ada permintaan yang tidak dituruti mereka berteriak histeris, menangis dan mengamuk membanting dan menghancurkan apa saja yang ada di dekat mereka. Mereka mengurung diri dirumah asyik sendiri dengan hp dan dunianya. Tidak mau mengenal dunia luar seperti bermain dengan teman-teman dekat rumahnya, bermain bola atau sekedar bermain kejar-kejaran antar mereka. Anak-anak cenderung memiliki sikap malas untuk belajar, malas untuk hidup sehat (mandi dan makan teratur) dan bahkan mereka tidak mengenal dengan baik angggota keluarganya, dan satu yang paling menyedihkan adalah hilangnya rasa empati kepada anggota keluarga yang sedang sakit atau mengalami musibah. Ini diakibatkan oleh sikap individualisme akut yang hanya memikirkan diri sendiri. Dan itu semua berawal dari memanjakan si kecil dengan Hp yang dimilikinya, dan memang mereka belum siap menerimanya baik secara fisik dan kejiwaan mereka.
*SEKOLAH TATAP MUKA TERBATAS ADALAH SOLUSI*
Terlepas dari berbagai peraturan pemerintah membolehkan atau tidaknya siswa belajar secara offline disekolah saat ini, dan kekhawatiran orang tua terhadap terlularnya covid 19 pada anak-anak kita saat belajar disekolah, maka langkah yang paling bijak bagi kita sebagai orang tua dan guru serta pengelola sekolah adalah apakah kita akan membiarkan anak-anak terus belajar dengan HP tanpa pengawasan?. Apakah orang tua masih sanggup menggantikan peran guru untuk 1 tahun kedepan?. Atau apakah kita membiarkan tingkat kebodohan anak-anak kita semakin hari semakin meningkat?. Lalu bagaimana dengan nilai dan karakter anak-anak kita yang semakin hari semakin mengkhawatirkan?.
Tentunya jawaban kita adalah *“Tidak”*. Maka langkah yang paling bijak bagi kita sebagai orang tua kembali mempercayakan sekolah membuka kelas-kelas mereka dengan protocol kesehatan yang dijaga dengan ketat. Mengantarkan anak-anak kita kembali belajar di sekolah mereka dengan cara bertahap (2-3 hari secara offline sisanya secara Online) sampai pada akhirnya kita kembali sekolah secara normal seperti sedia kala.
Kita harus memulainya, dan mulai bergerak dan tidak tinggal diam dengan pikiran-pikiran yang selalu menghantui orang tua dan sekolah. Setiap usaha dan ikhtiar tetap kita lakukan, namun jika menyangkut takdir dari Allah SWT itu adalah sesuatu hal yang berbeda. Tidak bisa kita menyangkut pautkan belajar kembali offline dan anak-anak kita tertular covid 19 lalu kita mengira kebijakan untuk membuat anak-anak kita kembali ke sekolah adalah keputusan yang salah. Tentu ini satu hal yang berbeda. Menjaga keberlangsungan masa depan anak-anak kita jauh lebih penting dari hanya sekedar kekhawatiran yang belum terjadi.
Bagi orang tua yang masih ragu dan belum bersedia sekolah membuka kelas secara tatap muka terbatas, maka biarkan dan berikan kesempatan bagi orang tua yang setuju sekolah membuka pelajaran secara terbatas. Toh sekolah tetap melayani dengan pembelajaran secara online bagi mereka yang belum bersedia. Bagi mereka yang bersedia, di dalam pelaksanaan tatap muka secara terbatas, kita harus tetap disiplin menjaga protocol kesehatan dengan ketat, dan apabila siswa dalam keadaan sakit, maka dengan jujur dan bertanggung jawab untuk memeriksakan diri ke dokter dan melakukan isolasi mandiri dirumah. Dan sekolah tetap memberikan pelayanan secara online. Pada sebagian kita ada anggota keluarga yang positif covid, siswa negative, namun tetap diantarkan kesekolah. Ini adalah masalah besar, maka menjadi bijak untuk melakukan isolasi mandiri dulu sampai semua anggota keluarga benar-benar sehat dan negative covid 19.
*MEMBANGUN KARAKTER YANG HILANG*
Tatap muka secara Offline adalah salah satu cara kita mengembalikan karakter yang hilang dari siswa akibat pembelajaran daring seperti adab dan sopan santun, disiplin dan tanggung jawab terhadap tugasnya menjadi melemah, termasuk nilai-nilai kejujuran dalam mengerjakan soal ujian dll. Dan membangun karakter tidak bisa dilakukan secara online, karena ia butuh keteladanan guru, menatap wajah guru secara langsung. Proses belajar siswa SD sangat jauh berbeda dengan SMP, SMA apalagi mahasiswa. Membangun karakter siswa SD hanya bisa di bangun dengan dominannya interaksi siswa dan guru secara langsung, sehingga nilai (value) yang diharapkan maksimal.
Mengapa belajar bagi siswa SD harus bertemu langsung dengan guru?. Karena baik secara online atau secara offline karakter yang dihasilkan menjadi sangat jauh berbeda. Hilangnya keteladanan para guru saat pembelajaran, bukan hanya sekedar transfer ilmu dari guru kepada siswa, akan tetapi juga adanya keteladanan yang dicontohkan langsung oleh para guru dalam kehidupan sehari-hari. Siswa langsung melihat guru yang menjadi contoh bagi mereka, dan tentunya dengan belajar secara online karakter yang kita harapkan dari siswa tidak akan pernah bisa terpenuhi. Maka menjadi sangat penting bahwa membangun karakter siswa hanya bisa dilakukan dengan cara bertemu secara langsung menatap wajah guru di sekolah.
Jadi kembali kepada judul awal, haruskah siswa belajar online terus? Maka jawaban kita adalah kita harus bergerak bertahab menuju sekolah offline dengan cara belajar dengan tatap muka secara terbatas dengan memperhatikan protocol kesehatan dengan ketat. Bagi dinas pendidikan terkait hendaknya segera memberikan izin kepada pihak sekolah khususnya sekolah swasta untuk melaksanaan belajar tatap muka terbatas ini, karena sebagian orang tua sudah mengizinkannya. Tentu dengan segala resiko yang sudah kita pahami bersama. Dan tentunya kita semua berdoa semoga Allah SWT akan selalu menjaga kita dan tetap memberikan kesehatan kepada kita semua dan tentunya mencabut virus covid 19 ini dari negeri ini agar kita kembali sekolah dengan normal dan segera melakukan perbaikan pendidikan anak-anak kita yang sudah lama belajar dirumah tanpa bimbingan guru.
Wallahualam Bissawab
Penulis
*Abdul Rahman, ST, M.Pd.*
Wakil Kepala Sekolah Bid. Pengembangan Karakter
_Referensi ;_
- Hasil Survei orang tua SDIT Mutiara Hati Juli 2021
- Intruksi Bupati Bekasi tentang pelaksanaan PPKM